Oleh: Dr. Drs. Saut SH, MH, M.Hum
Medan, AuraIndonesia.id | UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan tindak pidana korupsi. Peranserta masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi. Masyarakat juga didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia.
Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan. Selanjutnya, Peraturan Presiden No.102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Perpres ini diatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi. Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana.
Selain dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di unit kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk Pusat Kajian dan Pusat Studi.
Namun, Wicaksono dan Prabowo (2022: 1016-1029) mengungkap teori Fraud Triangle yang mendorong terjadinya korupsi, ada tiga faktor, yaitu tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Isgiyata Jaka, Indayani, Budiyoni Eko (2018:31-42) menyatakan Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Berdasarkan teori-teori tersebut, ada kecenderungan terjadinya korupsi di berbagai aktivitas keuangan di pemerintahan pusat dan daerah.
Penegakan hukum atas pelaku korupsi memang seharusnya dilakukan karena akan memiliki berbagai dampak, termasuk merugikan negara. Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi.
Naher,dkk (2020:120) dalam penelitiannya mengatakan bahwa korupsi termasuk ketidakhadiran tanpa izin seorang pegawai yang seharusnya bekerja namun tetap menerima gaji atau upah. Hukum itu sendiri berdiri kokoh pada tiga pilar hukum pidana. Faisal dan Rustamaji (2021: 2091-308) menyatakan tiga pilar hukum pidana yang meliputi tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Perhatian utama dari pilar tindak pidana ialah pada perbuatan.
Bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Dinas Pendidikan
Terindikasi adanya persoalan pelaksanaan bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada Dinas Pendidikan memungkinkan pelaksanaan dan pelaporannya terjerat hukum pidana. Sering sekali praduga tak bersalah bahkan pemutusan bersalah dilakukan terhadap pengelola DAK. Sejumlah pemanggilan oleh penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, inspektorat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pegelola DAK untuk dimintai keterangan hingga berlanjut pada proses hukum pengadilan.
Terjadi juga perdebatan antara penegak hukum dengan pengelola DAK, terutama pada dasar hukum yang menjadi acuan. Satu sisi penegak hukum berkeinginan menegakkan hukum agar jangan terjadi korupsi, sisi lain pengelola DAK juga berusaha untuk menghindari terjadinya korupsi.
Upaya-upaya pencegahan terjadinya perilaku korupsi, maka Dirwan (2019:53-64) mengatakan bahwa Sifat koruptif terbangun dari rusaknya integritas individu didukung oleh sistem yang buruk, serta kontrol yang tidak efisien yang berkontribusi pada kebocoran anggaran negara. Sejalan dengan hal itu dapat disintesiskan bahwa sistim kendali berpengaruh terhadap pengurangan kasus korupsi.
Ningtias, Anderson, dan Kuswanto (2021:271-286) menemukan dalam penelitiannya bahwa pengetahuan hukum dan kesadaran hukum berkorelasi signifikan terhadap kepatuhan hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada, sebetulnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian terhadap hukum. Menurut Ahmad Ibrahim (2018:15-25) mengatakan bahwa kepatuhan hukum diartikan perilaku yang tidak melanggar hukum. Kepatuhan hukum tersebut yang merupakan suatu proses psikologis ( yang sifatnya kualitatif ) dapat dikembalikan pada tiga proses dasar, yakni Compliance (kerelaan), Identification (pengenalan), Internalization (internalisasi). Selanjutnya, ketika kepatuhan hukum diartikan sebagai dinamika dalam tugas dan tanggung jawab, maka kepatuhan hukum tersebut dapat dinyatakan sebagai kinerja bebas pelanggaran hukum.
Alika dan Raswita (2022:8), Ernis (2018:477-496), menyatakan bahwa penyuluhan hukum berpengaruh terhadap kesadaran hukum, dimana penyuluhan hukum dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, dapat disintesiskan bahwa pengetahuan hukum meningkatkan kesadaran hukum. Marsinah Rahma (2016: 86-97) mengatakan bahwa kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas. Dewi (2012:221) menemukan bahwa kesadaran situasi dan efikasi diri berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja. Terkait dengan hal tersebut, kesadaran terhadap situasi yang menekan dan mengakibatkan penderitaan yang akan terjadi jika dilakukan pelanggaran hukum, maka seseorang akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin dalam upaya terhindar dari hukuman.
Selanjutnya Colcuit, Jason, Jeffery, LePine, Wesson (2009:17) dalam teorinya the integration Organizational Behavioral mengatakan bahwa kemampuan mempengaruhi komitmen dan kinerja seseorang; dan kemampuan tersebut di antaranya adalah pengetahuan. Lebih lanjut Aisyah Nur (2019: 232) menemukan dalam penelitiannya kemampuan kognitif berpengaruh langsung positif terhadap kinerja.
Pangaribuan (2017:233) menemukan bahwa pengendalian berpengaruh positif pada kinerja. Lebih lanjut, Saut (2021:254) menemukan sistem pengendalian kinerja mutu berpengaruh positif terhadap kinerja mutu SMA di Kota Medan. Narendra (2018:621-637); Jumiati, Kartiko (2022:33-44) menemukan bahwa locus of control dan komitmen berpengaruh positif terhadap kinerja. Bandiyono (2022:510-530) Locus of Control dapat menditeksi kecurangan (fraud detection). Yuniarti (2017: 113-124) menemukan dalam penelitiannya bahwa kendali internal berpengaruh positif terhadap kesadaran kecurangan (fraud awareness).
Qurbani dan Solihin (2021:223-232); Abidin, Pangtuluran, dan Maria (2016:1-10), menemukan adanya pengaruh signifikan efikasi diri terhadap komitmen organisasi. Sinaga Osberth (2019:229) menemukan efikasi diri berpengaruh positif secara signifikan terhadap komitmen. Komitmen organisasi identik dengan komitmen kerja yang berkualitas. Komitmen kerja yang berkualitas adalah komitmen terhadap pekerjaan secara kuantitas dan kualitas serta taat terhadap aturan dan hukum yang berlaku. Dewi Rosmala (2012:150-157) menemukan pengaruh efikasi diri terhadap kinerja. Sejalan dengan hal tersebut dapat disintesiskan bahwa efikasi diri berpengaruh positif terhadap komitmen dan kinerja.
Berdasarkan teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan maka dapat disintesiskan bahwa pengetahuan hukum berpengaruh terhadap kesadaran hukum, komitmen kerja, dan kinerja. Demikian juga, efikasi diri berpengaruh pada kesadaran hukum, komitmen kerja dan kinerja. Kendali internal berpengaruh pada kesadaran hukum, komitmen kerja, dan kinerja. Kesadaran hukum berpengaruh pada komitmen kerja dan kinerja. Komitmen kerja berpengaruh pada kinerja.
Penelitian ini akan menemukan adanya pengaruh langsung dan tidak langsung variable-variabel pengetahuan hukum, efikasi diri, dan kendali internal terhadap kesadaran hukum, komitmen kerja dan kinerja. Selajutnya, juga akan dianalisis kesadaran hukum pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap komitmen kerja dan kinerja.
Model dan teori yang terbangun dalam penelitian ini diarapkan akan menentang efek teori Fraud Triangle dan teori Gone. Penentangan terhadap kedua teori tersebut terjadi dengan menghilangkan pengaruh variable yang diungkap dalam teori Fraud Triangle dan Gone melalui model dan teori pengaruh kausal pengetahuan hukum, efikasi diri, kendali internal, kesadaran hukum, komitmen kerja, dan kinerja bantuan DAK bebas korupsi. Menolak korupsi oleh pengelola bantuan DAK pada Dinas Pendidikan dapat diwujudkan dengan pengaruh kausal (causality Effect) yang didisain seperti gambar berikut:
- Kinerja Bantuan Dana Alokasi Khusus bebas Korupsi adalah prestasi kerja melaksanakan dan memanfaatkan bantuan dana alokasi khusus dengan indikator transparansi, efisien, akuntabilitas, pengendalian Internal yang Kuat, dan Pemberantasan Korupsi. Bantuan dana alokasi khusus dianggap bebas korupsi jika terdapat upaya yang aktif untuk mencegah dan memberantas korupsi. Komitmen kerja Bebas Korupsi.
- Komitmen kerja bebas korupsi adalah kesetiaan terhadap Nilai integritas, Kepatuhan terhadap Hukum dan Aturan, tindakan Pencegahan Korupsi, pengawasan Internal yang Efektif, pelaporan dan whistleblowing, dan pendidikan dan pelatihan
- Kesadaran hukum adalah sikap terhadap kebutuhan tidak melanggar hukum dengan indikator pengetahuan tentang hukum, pemahaman tentang hak dan kewajiban, kepatuhan terhadap hukum, perilaku etis, tanggung jawab hukum, dan kesadaran akses keadilan,
- Pengetahuan hukum pidana adalah penguasaan hukum pidana secara kognitif yang diperlihatkan dari indicator berikut berikut: Pemahaman Konsep Dasar, Familiaritas dengan Peraturan Hukum, pemahaman Jenis-Jenis Tindak Pidana, kesadaran akan Hukuman dan Sanksi Pidana, dan pemahaman tentang Bukti dalam Persidangan Pida
- Efikasi diri adalah keyakinan akan Kemampuan Pribadi, ketahanan dan ketekunan, pengaturan tujuan yang tepat, regulasi diri, pembelajaran dan pengembangan diri, dan pengalaman sukses sebelumnya.
- Pengendalian Internal Kinerja Bantuan Dana Alokasi Khusus Bebas Korupsi adalah Kebijakan dan Prosedur, Pemisahan Tugas dan Tanggung Jawab, Pengawasan dan Monitoring, Transparansi dan Akuntabilitas, Evaluasi Risiko dan Pencegahan Kecurangan, dan Pelatihan dan Kesadaran.
Berdasarkan kajian pengetahuan dan hukum korupsi yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disintesiskan indikator pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan hukum tindak pidana korupsi sebagai berikut.
- Pemahaman tentang Definisi Korupsi: Individu memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang termasuk dalam tindakan korupsi, baik dalam bentuk penerimaan suap, penyuapan, gratifikasi, nepotisme, atau tindakan lainnya yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau dana publik.
- Pengetahuan tentang Undang-Undang Korupsi: Individu memiliki pengetahuan yang memadai tentang undang-undang dan peraturan yang mengatur tindak pidana korupsi di negara mereka. Mereka mengetahui ketentuan hukum terkait jenis-jenis korupsi, sanksi yang dapat dikenakan, dan prosedur peradilan yang terkait.
- Kesadaran tentang Tindakan yang Melanggar Hukum: Individu memiliki pemahaman tentang tindakan-tindakan konkret yang dianggap sebagai tindakan korupsi dan melanggar hukum. Mereka dapat mengidentifikasi tindakan yang melibatkan penyuapan, pemerasan, penggelapan dana, atau tindakan lain yang melanggar prinsip integritas dan etika dalam sektor publik atau swasta.
- Pemahaman tentang Aliran Dana Korupsi: Individu memiliki pemahaman tentang cara-cara di mana dana korupsi dapat dialirkan, termasuk melalui penggunaan perusahaan palsu, lapisan perantara, atau akun luar negeri yang rahasia. Mereka juga menyadari metode pencucian uang yang sering terkait dengan tindak korupsi.
- Pengetahuan tentang Proses Hukum dan Penegakan Hukum: Individu memiliki pengetahuan tentang proses hukum dan penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi. Mereka memahami bagaimana proses investigasi, penuntutan, dan pengadilan dilakukan, serta peran lembaga-lembaga penegak hukum yang terlibat dalam menangani kasus-kasus korupsi.
- Kesadaran tentang Pencegahan Korupsi: Individu memiliki pemahaman tentang pentingnya pencegahan korupsi dan peran yang dapat dimainkan oleh mekanisme pengawasan, pengendalian internal, etika, dan integritas dalam mencegah korupsi. Mereka menyadari pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif dalam mengatasi korupsi.
- Pemahaman tentang Dampak Korupsi: Individu memiliki pemahaman tentang dampak negatif korupsi terhadap pembangunan, ekonomi, sosial, dan politik suatu negara. Mereka menyadari bahwa korupsi dapat merusak tata kelola yang baik, merugikan masyarakat, merusak kepercayaan publik, dan menghambat perkembangan yang berkelanjutan.
Namun di sisi lain, bila kita bandingkan Penanganan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Denmark dan Indonesia sangat berbeda, terutama dalam hal transparansi, regulasi, dan budaya. Denmark dikenal memiliki sistem yang transparan dalam pengadaan publik. Semua proses dan dokumen pengadaan biasanya dapat diakses publik, yang mengurangi ruang untuk praktik korupsi.
Selain itu, ada peraturan yang sangat ketat mengenai pengadaan, termasuk evaluasi yang jelas terhadap penawaran dan kriteria seleksi yang terbuka, yaitu The Public Procurement Act, that is 198 of the Public Procurement Act, The Tender Act, dan Consolidation Act for Public Participation. Masyarakat Denmark umumnya memiliki ekspektasi tinggi terhadap integritas publik. Korupsi dianggap sebagai pelanggaran serius, dan ada kepercayaan umum bahwa pejabat publik akan bertindak secara etis. Dan untuk pengawasan, ada lembaga yang independen yang mengawasi praktik pengadaan dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti terlibat dalam korupsi.
Walaupun demikian, kita tetap optimis dapat mengatasi masalah korupsi ini sebagaimana dijelaskan dalam Teori yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman, yang sering disebut sebagai “Teori Sistem Hukum”.
Dalam teori tersebut, Ia mengkaji interaksi antara hukum, masyarakat, dan budaya dalam membentuk sistem hukum yang efektif. Salah satu bukunya yang paling terkenal adalah “A History of American Law”, yang memberikan wawasan mendalam tentang perkembangan hukum di Amerika Serikat dan bagaimana hukum berinteraksi dengan berbagai aspek sosial. Selain itu, Friedman juga menulis “The Law and Society”, yang membahas hubungan antara hukum dan konteks sosialnya. Semoga berhasil. Terima Kasih.
Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara