Oleh: Hery Buha Manalu
Medan, AuraIndonesia.id | Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu dari satu pihak ke pihak lain. Ia adalah proses kemanusiaan yang menumbuhkan, membentuk, dan membebaskan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dalam relasi yang sehat dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan bukan hanya tanggung jawab negara atau pendidik formal, tetapi merupakan kerja bersama, partisipasi semesta. Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei. Inilah semangat yang digaungkan dalam tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025: “Partisipasi Semesta, Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.”
Tema ini selaras dengan filosofi pendidikan dalam kearifan lokal Batak Toba, yang terangkum dalam ungkapan “Mata Guru, Roha Sisean.” Artinya, pembelajaran terjadi melalui mata yang penuh perhatian dan hati yang bersedia menerima. Pendidik tidak hanya mengajar lewat kata, tetapi melalui mata, yakni keteladanan, kepekaan, dan kehadiran yang nyata. Sementara peserta didik bukan sekadar penampung materi, tetapi pribadi dengan hati yang siap menerima dan merenungkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam bingkai tema Hardiknas 2025, ungkapan ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang bermutu tidak akan terwujud hanya oleh kerja satu pihak. Ia membutuhkan kerja kolektif, pendidik, peserta didik, keluarga, masyarakat adat, komunitas rohani, pelaku budaya, dunia usaha, hingga pemerintah, semuanya adalah “mata” dan “hati” dalam ekosistem pendidikan.
Kesederhanaan sebagai Kekuatan Pendidikan Bermutu
Dalam budaya Batak, pendidikan dimulai dari rumah dan kampung halaman. Orang tua menjadi pendidik pertama, dan masyarakat adat menjadi ruang belajar yang hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak diajarkan nilai melalui tindakan, bukan teori. Cara menyapa, cara makan bersama, cara menghormati orang tua, semua menjadi proses pendidikan yang berlangsung dalam kesederhanaan. Tidak ada papan tulis, tidak ada kurikulum rumit, tetapi hasilnya nyata, karakter yang kuat, rasa hormat, dan solidaritas sosial.
Nilai ini perlu diangkat kembali dalam dunia pendidikan kita yang modern. Pendidikan bermutu tidak identik dengan gedung megah atau perangkat teknologi canggih. Ia bermutu jika mampu membentuk manusia yang memiliki hati, roha sisean. Kesederhanaan justru menjadi jalan agar semua pihak dapat ikut serta. Sekolah di pelosok dengan fasilitas minim pun bisa unggul jika para pendidiknya menjadi “mata” yang hadir dengan kasih, dan masyarakatnya menjadi pendukung yang aktif.
Partisipasi Semesta, Siapa yang Dimaksud?
Partisipas semesta adalah ajakan untuk melihat pendidikan sebagai tanggung jawab kolektif. Pendidik bukan hanya mereka yang berdiri di kelas, tetapi juga mereka yang hadir di rumah, gereja, mesjid, pasar, bahkan di media sosial. Orang tua adalah mitra utama sekolah. Dunia usaha bisa menjadi pendukung vokasi. Pemerintah wajib menjamin akses, tetapi masyarakatlah yang menjaga semangat belajar tetap menyala.
Dalam filosofi Mata Guru Roha Sisean, setiap pihak diajak untuk menjadi pengamat aktif melihat apa yang dibutuhkan anak-anak, melihat siapa yang tertinggal, dan melihat potensi yang bisa dikembangkan. Dalam Roha Sisean, setiap peserta didik diajak untuk terbuka terhadap pelajaran hidup, dan setiap pihak diajak untuk rendah hati belajar dari yang lain. Artinya, partisipasi bukan hanya membantu dari atas, tetapi juga saling belajar secara horisontal, pendidik belajar dari murid, kota belajar dari desa, pemerintah belajar dari rakyat.
Kolaborasi Kultural, Budaya Lokal sebagai Modal Pendidikan
Dalam mewujudkan pendidikan bermutu, kita tidak perlu selalu mulai dari nol. Budaya lokal menyimpan kearifan yang sudah teruji dalam membentuk manusia. Ungkapan Batak seperti “Anakkon hi do hamoraon di au” (anakku adalah kekayaanku), atau “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru” (menghormati relasi sosial) merupakan ekspresi nilai-nilai pendidikan karakter. Inilah pendidikan yang tidak terputus dari kehidupan.
Kolaborasi dengan komunitas budaya lokal bukan hanya memperkuat identitas anak bangsa, tetapi juga memperluas partisipasi. Guru di sekolah formal bisa bermitra dengan tokoh adat, pendeta, imam, atau pemuka komunitas. Mereka semua bisa menjadi mata yang mendidik, dan hati yang menerima. Ketika sistem pendidikan merangkul budaya lokal, maka kesederhanaan bukan hambatan, melainkan kekayaan.
Menuju Pendidikan yang Merdeka dan Bermutu untuk Semua
Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang menjangkau semua anak, tanpa diskriminasi. Namun itu hanya mungkin jika ada partisipasi semesta, semua pihak hadir, peduli, dan aktif. Falsafah mata pendidik, roha sisean mengingatkan bahwa setiap orang bisa ambil bagian: dari mata yang memperhatikan anak-anak putus sekolah, hingga hati yang peduli terhadap nasib guru di daerah tertinggal.
Kita butuh lebih banyak mata yang peka, pemimpin daerah yang melihat pentingnya pembangunan sekolah, dunia usaha yang melihat perlunya beasiswa, dan media yang melihat urgensi mengangkat kisah inspiratif dari guru-guru di pelosok. Kita juga butuh lebih banyak hati yang terbuka: peserta didik yang belajar dengan rendah hati, guru yang mau terus belajar, dan masyarakat yang sabar membangun bersama.
Pendidikan adalah Gerakan Hidup
Pendidikan bukan proyek pemerintah, melainkan gerakan hidup. Ia tumbuh dalam kolaborasi, dipupuk dalam kesederhanaan, dan dijaga dalam kebersamaan. Falsafah Mata Guru Roha Sisean memberi arah bahwa pendidikan sejati lahir dari kehadiran dan perhatian.
Di Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, mari kita sadari bahwa pendidikan yang bermutu bukan milik segelintir orang, melainkan hak semua anak bangsa. Untuk itu, setiap kita apa pun profesi dan latar belakang kita, adalah pendidik. Dengan mata yang peduli dan hati yang terbuka, kita bisa menjadi bagian dari partisipasi semesta yang memerdekakan dan memanusiakan.
(Penulis adalah Dosen Aktif di STT Paulus Medan)