Oleh: Prof. Dr. Wardah Nuroniyah, S.H.I, M.S.I
Jakarta, AuraIndonesia.id | Bangsa Indonesia kehilangan ulama yang mencerahkan, K.H. Syakur Yasin, MA, Rabu, 17 Januari 2024. Ulama besar kelahiran Indramayu itu wafat di RS Mitra Keluarga, Plumbon, Cirebon, dalam usia 75 tahun.
Buya Syakur panggilan akrabnya memimpin pondok pesantren Cadangpinggan, Kertasmaya, Indramayu, dan aktif berceramah, baik offline maupun online, dengan materi-materi yang progresif dan penjelasan yang tidak mainstream. Dalam ceramah-ceramahnya yang bisa kita akses di kanal YouTube (via Wamimma TV), terlihat bagaimana Buya Syakur mengungkap kehadiran Islam di Jazirah Arab secara historis dan kultural, dengan melihat fakta kehidupan pada zamannya, kemudian mentransformasikannya dengan kehidupan modern sekarang. Dengan pendekatan seperti itu, Buya Syakur melihat Islam sebagai agama yang dinamis, progresif, dan mampu mengikuti perkembangan zaman.
Salah satu pemikiran Buya Syakur yang paling menarik bagi saya adalah pendekatannya tentang fikih Islam, khusunya mengenai kesetaraan hukum antara Laki-laki dan Perempuan – yang dalam bahasa akademis sering disebut fikih gender. Dalam berbagai jurnal dan buku-buku yang terkait fikih gender, kerap dibahas kenapa fikih Islam melihat perempuan sebagai subordinasi dari laki-laki. Pandangan yang subordinatif terhadap perempuan dan bias gender tersebut sebetulnya bukan ajaran Islam. Tapi lebih sebagai imbas kultural Arab.
Islam punya prinsip kesetaraan, di mana derajat manusia di hadapan Allah adalah sama. Karena itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan harus berlangsung secara simbiosis mutualistis, kerjasama saling menguntungkan, dan tidak merugikan salah satu pihak. Dalam hal ini, pinjam Buya Syakur, relasi antara laki-laki dan perempuan harus setara. Laki-laki adalah imam dalam keluarga dan penentu arah rumah tangga sebetulnya adalah pendapat yang bias gender. Suami dan istri dalam rumah tangga kedudukannya adalah setara. Istri bukan subordinasi dari suami.
Buya Syakur mengajak kita untuk berpikir bahwa fikih tidak turun dari langit secara langsung. Tapi fikih hadir melalui proses dinamika kehidupan bangsa Arab yang panjang secara kultural. Karena itu, jika kita membahas fikih Islam, pendekatan kultural bangsa Arab tidak bisa diabaikan begitu saja. Kitab-kitab fikih yang ada sekarang, yang kini jadi panutan umat Islam Indonesia – berasal dari empat Mazhab: Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali – semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan hadist dengan perspektif tafsir budaya Arab. Kondisi kultural inilah yang kemudian mengkonstruksi fikih Islam tentang hukum poligami, ketaatan mutlak istri terhadap suami, dan subordinasi kaum perempuan di hadapan kaum laki-laki.
Yang menarik, Buya Syakur dalam membahas fikih gender, landasannya adalah kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia. Ketika membahas hukum waris, misalnya, Buya mempertanyakan, kenapa bagian anak perempuan separuh dari anak laki-laki?
Di Indonesia, terutama di Jawa, ujar Buya Syakur, yang paling banyak perannya dalam kehidupan keluarga adalah anak perempuan. Di kampung, sejak anak-anak, perempuan sudah membantu orang tuanya dalam kehidupan domestik seperti mencuci pakaian, menanak nasi, memasak, dan mengasuh adik-adinya – hampir semuanya dilakukan anak perempuan. Bahkan ketika anak perempuan itu jadi tenaga kerja wanita (TKW) atau buruh migran, ia rajin mengirim uang untuk orang tuanya di kampung. Tidak sedikit, TKW itu menabung, uangnya diserahkan kepada orangtuanya untuk merenovasi rumah yang ditempati ibu dan bapaknya. Tapi ketika orang tuanya meninggal, berdasarkan fikih Islam, anak perempuan hanya dapat bagian harta waris separuh dari anak laki-laki. Lalu, di mana rasa keadilannya – tanya Buya Syakur.
Ada yang sangat menyedihkan, kata Buya Syakur. Dalam fikih, laki-laki boleh menceraikan istrinya yang menderita sakit lama, karena ia tidak mampu lagi memberi layanan seks kepada suaminya. Hukum macam apa ini? Memangnya perempuan dijadikan istri hanya untuk pemuas nafsu? Tanya Buya Syakur.
Dalam membela kesetaraan fikih gender, Buya Syakur bahkan mempermasalahkan sebagian tafsir Qur’an yang beredar di Indonesia, yang mengakibatkan ulama membakukan fikih yang diskriminatif itu. Salah satunya tafsir Alquran Surat An-Nisa ayat 4, yang berbunyi: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan tinnggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan serta pukullah mereka. Lalu jika mereka telah menaati kamu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Kata “nusyuz” di An-Nisa ayat 4, yang artinya sangat luas, kerap disederhanakan dengan tafsir “penolakan istri terhadap ajakan suami untuk berhubungan seks”. Jika istri menolak, maka suami boleh memukulnya. Ada lagi, hadist yang menyatakan, sang istri tersebut dikutuk malaikat akibat sikap nusyuznya. Padahal, kata Buya Syakur, nusyuz mungkin saja terjadi karena perempuan tersebut kelelahan atau sedang sakit. Lanjutan ayat tersebut, adalah kata dharaba yang diartikan memukul. Istri yang menolak ajakan suami berhubungan badan, maka boleh dipukul.
Dengan landasan ayat tersebut, sebuah lembaga Council of Islamic Ideology (CII) di Pakistan, mendesak pemerintah untuk mengesahkan hukuman pemukulan terhadap istri yang menolak ajakan hubungan suami istri. Sebagai negara Islam, desak CII, Pakistan harus menjalankan hukum tersebut karena bersumber dari Al-Quran.
Menurut Buya Syakur, sumber masalah itu terletak pada kata dharaba. Arti kata dharaba diperkecil menjadi memukul. Padahal, arti kata dharaba sangat banyak. Salah satunya, memeluk atau membelai. Jadi kalau istri menolak nusyuz, maka suami harus memeluk, membelai, dan merayunya. Almarhum Dr. Djohan Effendi, peneliti Litbang Kemenag dan mantan Mensesneg, menerjemahkan kata dharaba dalam ayat tersebut sama seperti Buya Syakur. Yaitu memeluk dan membelai.
Ayat 4 Surat An-Nisa tersebut, dampaknya di masyarakat awam sangat luas. Ia menjadi pembenar dari KDRT dan menimbulkan banyak korban. Buya Syakur dalam kanal YouTube-nya sering mempersoalkan tafsir An-Nisa 4 tadi. Jika ayat 4 An-Nisa jadi pegangan pelaku KDRT, yang salah adalah penafsirnya yang kurang memahami bahasa Arab, ujar Buya Syakur.
Buya Syakur memang dikenal sebagai pakar bahasa dan dan sastra Arab. Beliau melanglang buana, menuntut ilmu keislaman di berbagai perguruan tinggi terkenal di Mesir, Irak, Libya, Tunis, hingga Inggris. Buya Syakur menguasai dengan baik bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Pengetahuannya yang luas, menjadikannya seorang ulama yang mampu membedah kebekuan berpikir umat Islam yang terbelenggu kredo-kredo masa lalu.
Selamat Jalan Buya Syakur. Semoga Allah memberikan rumah terindah di Sorga.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta