Serdang Bedagai, AuraIndonesia | Bantuan Operasional Pengolahan Lahan (OPLA) tahun 2025 dari Kementerian Pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) menuai polemik. Berdasarkan data, bantuan ini tercatat mencakup 7.323 hektar lahan pertanian yang tersebar di tujuh kecamatan.
Pencairan tahap awal dimulai pada 4 Juni 2025, di mana Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Maju Bersama masuk dalam daftar penerima dengan luasan bantuan 1.000 hektar, terbagi di empat desa: Desa Pematang Kuala, Desa Bogak Besar, Desa Sentang (ketiganya di Kecamatan Teluk Mengkudu), serta Desa Mangga Dua (Kecamatan Tanjung Beringin).
Berdasarkan keterangan sumber, bantuan OPLA dihitung sebesar Rp36.000 per rante atau setara Rp900.000 per hektar. Dengan luasan 1.000 hektar, total bantuan yang seharusnya diterima mencapai Rp900 juta. Namun, pencairan tahap awal dibatasi 70 persen atau sekitar Rp630 juta. Sayangnya, penyaluran bantuan di empat desa penerima manfaat disebut-sebut hanya sampai pada pengurus P3A setempat, tidak langsung diterima oleh para petani.
Sesuai petunjuk teknis, bantuan tersebut semestinya diberikan kepada petani melalui masyarakat pemilik traktor (jetor) untuk meringankan biaya pengolahan lahan. Jika tarif upah jetor Rp60.000 per rante, bantuan Rp36.000 per rante berarti petani hanya perlu menambah Rp24.000. Namun kenyataannya, petani di empat desa tetap membayar penuh Rp60.000 per rante, sehingga muncul pertanyaan: ke mana dana bantuan tersebut disalurkan?
Situasi kian memanas ketika muncul dugaan pengalihan isu, seperti penambahan lokasi terdampak menjadi enam desa dengan memasukkan Desa Pematang Guntung dan Desa Nagur. Selain itu, beredar kabar bahwa bantuan upah jetor baru akan diberikan pada musim tanam berikutnya di bulan Oktober 2025. Masyarakat menilai langkah ini hanya menunda penyelesaian masalah tanpa kejelasan penyaluran dana yang sudah dicairkan.
Pada 6 Agustus 2025, sekitar 50 petani dari Desa Sentang, Desa Bogak, dan Desa Mangga Dua menghadiri pertemuan bersama pengurus GP3A Maju Bersama dan Dinas Pertanian Sergai. Hasilnya, pihak GP3A Maju Bersama meminta waktu dua hari untuk menyelesaikan masalah. Namun hingga kini, penyelesaian yang dijanjikan tidak pernah terealisasi.
Seorang warga Dusun 6 berinisial E mengaku bahwa setelah pertemuan tersebut, pengurus GP3A Maju Bersama sempat datang ke Desa Bogak untuk menenangkan warga dengan janji pencairan bantuan pada Oktober 2025, disertai pendataan ulang penerima. Namun, masyarakat Dusun 3 Desa Mangga Dua tetap bersikeras menuntut hak mereka, mengingat desa ini mendapatkan alokasi bantuan untuk 322 hektar, tetapi P3A setempat hanya menerima Rp70 juta dari total yang seharusnya Rp202 juta.
Menurut warga, dana tersebut dibagi kepada pemilik jetor sebesar Rp1,5 juta per unit. Akan tetapi, petani tetap harus membayar penuh biaya pengolahan lahan mereka, sehingga manfaat bantuan OPLA nyaris tidak dirasakan. Hal ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan petani yang merasa hak mereka diabaikan.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum (APH) dapat menindaklanjuti kasus ini setelah tahun anggaran berganti. Mereka meminta agar pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan bantuan pemerintah dijerat dengan hukuman setimpal, sehingga menjadi pelajaran agar di masa depan tidak ada lagi yang berani menyelewengkan dana yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan petani. (BT)