BerandaDaerahSamuel Sinaga Dilaporkan ke Polda Sumut atas Dugaan Ujaran Kebencian

Samuel Sinaga Dilaporkan ke Polda Sumut atas Dugaan Ujaran Kebencian

MEDAN, AuraIndonesia | Suasana di halaman Polda Sumatera Utara pada Kamis sore, 23 Oktober 2025, terasa berbeda. Di antara hiruk pikuk warga yang keluar masuk, tampak empat pemuda berwajah tegas namun mata mereka memancarkan keharuan. Mereka datang bukan membawa amarah, melainkan rasa luka yang mendalam atas nama iman dan martabat.

Mereka adalah Reinheart Tamba, Ambrin BW Simbolon, Boy Sanjaya, dan Sean Ginting — perwakilan dari Pemuda Garda Katolik (Pagar Katolik). Organisasi ini merupakan gabungan dari Pemuda Katolik, PMKRI Santo Bonaventura Medan, dan Orang Muda Katolik (OMK). Hari itu, mereka resmi melaporkan Samuel Sinaga, pemilik akun Facebook yang diduga menebar ujaran kebencian terhadap agama Katolik dan para rohaniwan.

Luka yang Menyentuh Iman

Laporan itu bermula dari unggahan video Samuel Sinaga di Facebook pada 16 Oktober 2025. Dalam video tersebut terdengar seorang pria berkata:

“Ada yang bilang saya pemakan rima-rima TPL. Padahal Lamtoras pun sudah memakan rima-rima pastor. Rima-rima artinya sisa-sisa kan? Datang kemarin, memberi rima-rimanya ke Sihaporas.”

Kata “rima-rima pastor” dalam unggahan itu membuat dada banyak umat Katolik sesak. Bagi mereka, ucapan tersebut bukan sekadar candaan atau kritik — melainkan penghinaan terhadap para imam, pastor, dan suster yang selama ini mengabdi untuk kemanusiaan.

Ini sangat melukai hati kami umat Katolik,” ujar Reinheart Tamba usai membuat laporan di Mapolda Sumut. Ia menegaskan, tudingan bahwa para rohaniwan Katolik hanya memberi “sisa-sisa” bantuan kepada masyarakat Sihaporas, Simalungun, adalah bentuk pelecehan terhadap niat tulus mereka membantu korban konflik.

Dari Kemanusiaan Menjadi Fitnah

Unggahan Samuel itu diduga merujuk pada aksi solidaritas oikumenis yang dilakukan oleh para rohaniwan lintas agama. Aksi itu digagas Gerakan Oikumenis Keadilan Ekologis Sumatera Utara, yang dipimpin Pastor Walden Sitanggang, OFM Cap.

Pasca penyerangan oleh ratusan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Desa Sihaporas pada 22 September 2025, sebanyak 33 warga luka-luka. Para pastor, suster, pendeta, dan aktivis kemudian datang untuk memulihkan luka sosial dan memperbaiki akses jalan yang rusak akibat pengerukan alat berat perusahaan.

Mereka hadir bukan untuk mencari sorotan, melainkan membawa pesan kasih dan solidaritas lintas iman. Pada 11 Oktober dan 19 Oktober 2025, lebih dari 200 relawan bergotong royong menutup lubang sedalam tujuh meter yang memutus jalan utama desa. Di tengah doa dan peluh, mereka bekerja bersama warga — suatu pemandangan yang justru menggambarkan keindahan iman dan kemanusiaan.

Namun, niat baik itu kemudian diubah menjadi bahan ejekan. Kalimat “rima-rima pastor” pun menyebar luas di media sosial, memicu kemarahan dan kesedihan di kalangan umat Katolik Sumatera Utara.

Seruan Keadilan dan Etika Publik

Menanggapi kasus ini, Drs. Helpon Manurung, salah satu tokoh Katolik Sumut, menyatakan keprihatinannya yang mendalam. Ia menilai unggahan Samuel Sinaga berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE, tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian berbasis agama.

“Unggahan seperti ini dapat menimbulkan kekisruhan di tengah umat,” ujarnya. Ia berharap, laporan ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan tetap menjunjung tinggi etika berpendapat.

Helpon menambahkan, “Kita dukung para pemuda Katolik sebagai garda terdepan menjaga martabat iman. Jangan biarkan kebencian tumbuh dari kesalahpahaman.”

Harapan di Tengah Luka

Kini, bola panas kasus ini berada di tangan aparat kepolisian. Bagi umat Katolik, laporan itu bukan sekadar bentuk pembelaan, tetapi seruan untuk menghormati kemanusiaan. Mereka berharap, hukum bisa menjadi ruang pemulihan, bukan pertikaian baru.

Di balik laporan yang resmi dan dingin di atas kertas, tersimpan perasaan yang sangat manusiawi — luka karena iman mereka dilecehkan, dan harapan agar cinta kasih lebih kuat dari kebencian.

Di Sumatera Utara, di tanah tempat berbagai keyakinan hidup berdampingan, peristiwa ini menjadi pengingat: bahwa kata-kata, sekecil apa pun, bisa menyembuhkan… atau melukai. (Tim)

 

Google News

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini