Iklan

Hot News

Tugu, Capaian Kebesaran Eksistensial Masyarakat Batak

(Gbr.Ist. Tugu Aritonang di Kecamatan Muara, Taput-Sumut)

Medan, AuraIndonesia.id | Tak salah jika orang mengaitkan berdirinya sebuah tugu, adalah sebuah eksistestensial “kebesaran” yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Keturunan), Hasangapon (Kehormatan atau Kemuliaan).

Tugu adalah sebuah karya seni yang mengandung makna sebagai peringatan suatu peristiwa. Pendirian tugu juga untuk menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tugu boleh saja hanya berupa tiang besar terbuat dari batu, atau sebuah patung atau bangunan.

Tugu juga bisa diartikan sebagai peringatan dan sebagai pusat peribadatan agama. Terbuat dari batu atau kayu dengan pucuknya sering ramai dihiasi.

Selain bermakna religius, dan kita pahami tugu dengan tiang-tiang sepeti di Yunani yang menyatu dengan rancangan bangunan yang mempunyai daya tarik keindahan yang kuat, karya seni. Tugu adalah karya seni yang sarat makna.

Dalam istilah Batak, Tugu disebut juga Simin (maksudnya bangunan terbuat dari semen, dibedakan dari makam biasa). Tambak disebut pada bangunan makam yang agak tinggi tempat dikumpulnya tulang-belulang nenak moyang beberapa generasi.

Tugu hanyalah disebut untuk bangunan tanda peringatan atau perkumpulan suatu marga. Diharapkan dapat mempersatukan marga yang telah berkembang bercabang-cabang, dan sekaligus dapat mengetahui silsilah dan histori nenak moyangnya.

Bagi orang Batak tugu merupakan bangunan yang sakral bagi orang bersuku Batak. Bagi orang awam yang sedang melintas di Tanah Batak akan terheran-heran akan melihat banyaknya tugu yang bertebaran di sepanjang jalan.

Bukanlah sekadar ornamen bangunan yang dibuat untuk sekadar perhiasan ataupun ikon suatu kota, melainkan suatu bangunan yang menyimbolkan suatu keutuhan akan suatu turunan atau kelompok marga tertentu.

Bisa dikatakan kesuksesan suatu marga tertentu ditunjukkan jika sudah terdapat tugunya. Kesuksesan yang dimaksud tak sekadar materi saja, tapi juga kerelaan meluangkan waktu. Pembangunan tugu tersebut bukanlah atas prakarsa satu atau beberapa orang dari marga tersebut, tapi harus melalui musyawarah antara penyandang marga tersebut, di mana pun komunitas marga itu tersebar.

Jika ada satu marga tertentu yang berada di perantauan, bukan berarti pembangunan tugu yang direncanakan harus dari koceknya saja karena seseorang itu kaya ataupun seorang pejabat yang berpengaruh.

Namun yang bersangkutan malah harus mengajak sesamanya yang semarga di daerah lain untuk meniatkan satu tujuan bersama untuk membangunnya. Hal ini sebagai wujud persatuan (Hasadoan ni roha) marga daerah asal mereka kampung halaman (bona pasogit) yang dapat seniat (satahi).

Harus mempunyai rasa memiliki dan persatuan yang utuh agar bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan mengandalkan materi seseorang saja dianggap sebagai suatu yang tabu (tokka). Orang yang status sosialnya tinggi dari marga itu akan menjalin komunikasi dengan sesama marga (dongan tubu) yang berdiaspora serta sudah mendirikan paguyuban marga (punguan parsadaan partangiangan) di daerah diasporanya.

Dari diaspora mengirimkan utusan perwakilan untuk membahas pembangunan tugu tersebut. Tak cukup hanya sekali saja perwakilan diaspora itu hadir. Seperti membuat suatu perjanjian diplomatik, masing-masing perwakilan diaspora memberi rancangan bagaimana bentuk tugu tersebut dibuat serta jumlah kontribusi yang diberikan per komunitas diaspora. Jika berjalan lancar atas proses yang dilakukan tersebut, tugu pun pun mulai dibangun.

Keberhasilan menyelesaikannya bisa dicap bahwa mereka sudah mampu mengesampingkan rasa ego masing-masing serta mampu membuat persatuan keluarga yang utuh. Diiringi tabuhan gendang (Taganing) dari pemusik (pargonci) dan tarian tortor yang dihadiri keluarga besar marga tersebut, (Hula-Hula, Tulang, dst).

Rasa bangga (satahi saoloan) dari rasa kompak persatuan “arga do bona ni pinasa” telah ditunaikan oleh mereka. Para marga-marga yang lain pun akan mengucapkan keberhasilan pembangunan tugu marga tersebut. Mereka yang menyandang marga itu dipandang sudah memiliki status sosial yang tinggi (sangap) serta memiliki kesatuan jiwa (hasadaan).

Disimpulkan eksistensi tugu begitu penting bagi suku Batak, tak mengherankan jika setiap golongan marga harus bekerja keras agar marga yang disandangnya tidak dipandang sebelah mata.

Selain itu rasa persatuan harus juga dimiliki komponen suatu marga agar pembangunan suatu tugu dapat berjalan lancar tanpa mesti dihambat oleh perselisihan pendapat yang tajam dan membuat persatuan yang menjadi tujuan semula pembangunan tugu jadi tak terealisasi.

Tak salah jika orang kemudian mengaitkan tegaknya suatu tugu dengan “kebesaran” suatu marga. “Kebesaran” dalam ukuran capaian tiga nilai eksistensial orang Batak: hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), hasangapon (kehormatan/kemuliaan). (Red)

Must Read

Related News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini